Keripik Apel Khas Batu

FOR YOUR PLATE, Halo Konco Luwe! Kota Batu, yang terkenal sebagai salah satu kawasan penghasil buah terbesar di Jawa Timur, memiliki kisah menarik di balik lahirnya produk olahan yang kini menjadi ikon oleh-oleh kota tersebut yaitu keripik buah. Makanan ringan ini bukan sekadar camilan biasa, melainkan hasil dari inovasi teknologi pertanian, kreativitas masyarakat lokal, dan upaya kolektif untuk mengatasi masalah pascapanen yang para petani alami sejak puluhan tahun lalu.

Tantangan Petani dan Solusi Teknologi

Pada awal dekade 1990-an, para petani di Batu dan sekitarnya menghadapi permasalahan klasik yaitu hasil panen buah yang melimpah, namun tidak semuanya terserap pasar. Akibatnya, banyak buah yang membusuk karena tidak terjual. Di sinilah muncul kebutuhan mendesak untuk mengolah buah menjadi produk yang lebih awet, tahan lama, dan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Tantangan ini menjadi perhatian kalangan akademisi. Seorang dosen dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, kemudian memperkenalkan sebuah metode baru dalam pengolahan buah, yaitu vacuum frying atau penggorengan vakum. Teknologi ini memungkinkan produsen menggoreng buah dalam kondisi hampa udara dengan suhu rendah, sehingga teksturnya menjadi renyah namun tetap mempertahankan cita rasa serta kandungan gizi alaminya. Inovasi ini menjadi titik awal lahirnya keripik buah di Batu.

Adaptasi UMKM dan Tumbuhnya Industri Rumahan

Akademisi awalnya mengembangkan teknologi vacuum frying, lalu masyarakat terutama pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mulai mengadopsinya. Banyak warga Kota Batu mulai mempelajari teknik ini dan mencoba memproduksi keripik dari berbagai jenis buah yang melimpah di daerah mereka, seperti apel, nangka, salak, pisang, nanas, dan bahkan buah naga

Salah satu pelopor dalam industri ini adalah Djayadi, pemilik usaha “UD Jayadi”, yang mulai memproduksi keripik buah sejak pertengahan 1990-an. Bermodal keinginan untuk memberdayakan hasil pertanian lokal, usahanya berkembang pesat. Kini, UD Jayadi mampu memproduksi hingga 2–3 kuintal buah per hari dan mempekerjakan puluhan tenaga kerja dari warga sekitar.

Model usaha seperti ini menginspirasi banyak pelaku usaha lain di Batu. Industri rumahan bermunculan dengan nama dan merek beragam, membentuk ekosistem ekonomi lokal yang kuat. Pemerintah daerah dan universitas juga turut memberikan pelatihan serta bantuan alat penggoreng vakum untuk memperluas jangkauan produksi.

Menjadi Ikon Oleh-Oleh Khas Batu

Keripik Apel Khas Batu
Sumber: mykola/canva

Dengan cita rasa yang khas, renyah, dan tidak menggunakan bahan pengawet atau pemanis buatan, keripik buah dari Batu dengan cepat menarik perhatian wisatawan. Setiap orang yang berkunjung ke Kota Batu seakan wajib membawa pulang oleh-oleh ini. Keripik apel menjadi varian paling ikonik, sejalan dengan julukan Batu sebagai “Kota Apel”.

Seiring meningkatnya permintaan, distribusi keripik buah meluas hingga ke berbagai daerah di Indonesia. Tak sedikit toko oleh-oleh besar seperti Brawijaya Oleh-Oleh, Istana Keripik, dan Malang Strudel turut menjual produk keripik buah, baik secara offline maupun melalui platform online.

Inovasi dan Pemasaran Digital di Era Modern

Pandemi COVID-19 yang melanda pada 2020 menjadi tantangan baru bagi para pelaku UMKM. Namun, banyak di antara mereka yang cepat beradaptasi. Salah satunya adalah Khamim Tohari, pemilik Kendedes Selecta Fruit. Ia memanfaatkan media sosial, termasuk TikTok, untuk memasarkan produknya. Strategi ini terbukti efektif, bahkan mampu menarik pembeli dari luar negeri seperti Malaysia dan Hong Kong.

Pendekatan digital seperti ini tidak hanya menyelamatkan usaha di masa krisis, tetapi juga memperluas pasar dan meningkatkan daya saing keripik buah Batu di era industri 4.0. Pelaku usaha membuat kemasan lebih menarik, dan mereka juga mengejar sertifikasi halal serta PIRT untuk memperkuat kredibilitas produk. 

Peran Akademisi dan Pemerintah

Selain teknologi awal dari Universitas Brawijaya, dukungan berkelanjutan dari institusi pendidikan lain juga turut membesarkan industri keripik buah. Universitas Negeri Malang, misalnya, memberikan bantuan mesin vacuum frying kepada BUMDes dan pelaku UMKM. Hal ini menjadi bagian dari pengabdian masyarakat sekaligus transfer teknologi dari kampus ke komunitas lokal.

Pemerintah Kota Batu dan Kabupaten Malang juga rutin mengadakan pelatihan kewirausahaan, pendampingan legalitas usaha, serta memfasilitasi pelaku UMKM untuk mengikuti pameran nasional maupun internasional. Upaya ini bertujuan untuk memperkuat posisi keripik buah sebagai produk unggulan daerah.

Cita Rasa Lokal yang Mendunia

Keripik Apel Khas Batu
Sumber: santhosh/canva

Kini, keripik buah khas Batu bukan sekadar camilan, tetapi juga simbol keberhasilan kolaborasi antara petani, inovator, akademisi, dan pelaku usaha. Produk ini telah merambah berbagai pasar di Indonesia dan mulai terkenal di pasar ekspor. Keunikan rasa yang otentik, tekstur yang renyah alami, serta proses produksi yang higienis menjadi daya tarik utama di tengah tren makanan sehat.

Tidak hanya mengangkat nama Batu sebagai kota wisata, keripik buah juga berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat dan menjadi contoh sukses pemanfaatan hasil pertanian secara kreatif. Dari solusi pascapanen menjadi oleh-oleh ikonik, inilah bukti bahwa inovasi sederhana bisa berdampak luar biasa.

FAQ

  1. Apa itu keripik buah khas Batu?

Keripik buah khas Batu adalah camilan sehat yang dibuat dari buah-buahan segar hasil pertanian Kota Batu, Jawa Timur. Produk ini dikenal dengan rasa otentik, tekstur renyah alami, dan proses produksi yang higienis.

  1. Mengapa keripik buah Batu menjadi populer?

Keripik buah dari Batu semakin populer karena memenuhi tren makanan sehat, memiliki cita rasa yang khas, serta dikemas secara menarik sebagai oleh-oleh khas daerah wisata. Produk ini juga telah merambah pasar nasional dan mulai menembus pasar ekspor.

  1. Siapa saja yang terlibat dalam pengembangan keripik buah Batu?

Pengembangan keripik buah Batu merupakan hasil kolaborasi antara petani lokal, inovator teknologi, akademisi, dan pelaku usaha. Ini menjadi contoh sinergi antara sektor pertanian dan industri kreatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *