FOR YOUR PLATE-Malang. Hallo Konco Luwe! Nasi Tiwul bukan sekadar makanan—ia menjadi simbol ketahanan, kesederhanaan, dan identitas budaya masyarakat Jawa. Masyarakat menjadikan tiwul sebagai wujud nyata dari kemampuan bertahan dalam keterbatasan.

Lahir dari masa-masa sulit, tiwul mengajarkan nilai kemandirian, semangat gotong royong, serta cinta yang mendalam terhadap warisan leluhur. Setiap proses pembuatannya menggambarkan bagaimana masyarakat bekerja bersama, saling membantu, dan menjaga nilai-nilai tradisi.

Kini, banyak pihak mulai mengangkat kembali tiwul sebagai bagian penting dari upaya pelestarian kuliner lokal. Para pegiat budaya, pelaku UMKM, hingga generasi muda mulai memperkenalkan tiwul kepada khalayak luas dengan bangga.

Lebih dari sekadar makanan bersejarah, nasi tiwul juga menawarkan kepraktisan dalam pembuatannya. Siapa pun bisa membuatnya di rumah, hanya dengan bahan sederhana dan langkah-langkah yang mudah diikuti.Melalui tiwul, kita tidak hanya mengenang masa lalu, tapi juga membangun kebanggaan terhadap budaya sendiri—yang patut dijaga, diwariskan, dan dibawa ke masa depan

Nilai sosial dan Budaya Tiwul

  1. Simbol Ketahanan dan Kemandirian Masyarakat Desa
    • Nasi Tiwul lahir dari keterbatasan—ketika beras sulit didapat, terutama saat masa penjajahan dan paceklik.
    • Masyarakat tidak menyerah, melainkan mencari alternatif dari alam sekitar.
    • Ini menunjukkan nilai kemandirian, tangguh, dan adaptif terhadap kondisi sulit.
    • Tiwul menjadi simbol ketahanan pangan: bagaimana masyarakat bertahan hidup dengan sumber daya lokal tanpa ketergantungan pada luar.
  1. Representasi Kesederhanaan dan Filosofi “Nrimo”
    • Nasi Tiwul identik dengan gaya hidup sederhana masyarakat desa.
    • Filosofinya selaras dengan prinsip hidup Jawa: “nrimo ing pandum” (menerima dengan ikhlas apa yang dimiliki).
    • Makanan ini tidak mewah, namun cukup untuk mengenyangkan dan menyehatkan—cerminan dari sikap hidup bersahaja dan tidak berlebih-lebihan.
  1. Identitas Lokal dan Warisan Budaya Leluhur
    • Bagi masyarakat di Pacitan, tiwul adalah bagian dari identitas budaya mereka.
    • Resep dan cara membuatnya diwariskan turun-temurun dari nenek moyang.
    • Dimasukkan dalam berbagai ritual adat, seperti selamatan, kenduri, dan acara tasyakuran.
    • Tiwul bukan hanya makanan, tetapi bagian dari kebudayaan lisan dan kebiasaan kolektif.
  1. Perekat Sosial Komunitas
    • Proses membuat tiwul tradisional melibatkan kegiatan gotong-royong: dari menjemur gaplek, menumbuk, hingga memasak bersama.
    • Sering dibuat bersama saat acara desa atau perayaan, menjadikan tiwul sebagai makanan yang menyatukan masyarakat.
    • Momen makan tiwul sering jadi sarana berbagi cerita, kebersamaan, dan kekeluargaan.
  1. Simbol Perjuangan dan Kesetaraan
    • Dulu tiwul dianggap sebagai makanan rakyat kecil atau “kelas bawah”.
    • Namun sekarang, tiwul diangkat sebagai makanan warisan yang membanggakan.
    • Ini menunjukkan pergeseran perspektif budaya, bahwa makanan sederhana bisa punya nilai tinggi dan dihargai secara setara.
  •  
  1. Inspirasi dalam Gerakan Pelestarian Kuliner Lokal
    • Tiwul kini menjadi bagian dari gerakan pelestarian pangan lokal.
    • Banyak komunitas kuliner, sekolah, hingga pemerintah daerah yang mengenalkan kembali tiwul kepada generasi muda.
    • Nilainya bukan sekadar makanan, tapi sebagai simbol kelestarian budaya dan lingkungan.

Bahan Tiwul

sumber: ratul ghosh/unsplash
  • 200 gram tepung gaplek atau tepung tiwul 
  • 50 ml air hangat 
  • 100 gram gula merah, disisir halus 
  • 100 gram kelapa parut segar
  • Sejumput garam

Cara Membuat

sumber : jcomp/freepik
  1. Menyiapkan Tepung Gaplek:
    • Letakkan tepung gaplek di wadah lebar. 
    • Percikkan air hangat sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga membentuk butiran-butiran kecil. Pastikan tidak terlalu basah agar tekstur tiwul tetap kenyal.
  1. Mengukus Tiwul:
    • Siapkan kukusan dan alasi dengan daun pisang agar aroma lebih harum.
    • Masukkan butiran tiwul ke dalam kukusan. Tambahkan gula merah yang sudah disisir di atasnya.
    • Kukus selama kurang lebih 25–30 menit hingga matang.
  1. Menyiapkan Taburan Kelapa:
    • Campurkan kelapa parut dengan sejumput garam.
    • Kukus campuran kelapa selama 15 menit untuk menjaga kesegarannya dan mencegah cepat basi.
  1. Penyajian:
    • Setelah tiwul matang, sajikan di piring saji.
    • Taburi dengan kelapa parut kukus di atasnya.
    • Tiwul siap dinikmati sebagai camilan atau pengganti nasi.

Kesimpulan

Tiwul bukan hanya pengganjal lapar, tapi juga simbol ketahanan, kemandirian, dan kecintaan terhadap warisan budaya. Masyarakat Jawa menjadikannya bukti bahwa dari keterbatasan pun bisa lahir kekayaan kuliner yang patut dibanggakan. Kini, tiwul kembali diangkat sebagai bagian dari identitas lokal yang sederhana, mudah dibuat, namun sarat makna.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *