FOR YOUR PLATE, Halo Konco Luwe! Di tengah maraknya jajanan kekinian dan camilan modern, Ledre tetap mempertahankan eksistensinya sebagai kuliner tradisional khas Bojonegoro yang tak lekang oleh waktu. Rasa gurih, manis, dan renyah langsung menyapa lidah saat seseorang mencicipi makanan berbahan dasar pisang ini. Meski kini populer, banyak orang belum mengetahui bahwa Ledre menyimpan kisah panjang sejak masa kolonial.

Asal-usul Ledre

Sumber: pixleshot/canva

Masyarakat mulai mengenal Ledre sekitar tahun 1943, saat Indonesia mengalami pergantian kekuasaan dari penjajahan Belanda ke Jepang. Pada masa itu, kondisi ekonomi sangat sulit dan masyarakat kesulitan memperoleh bahan pangan. 

Warga Bojonegoro pun memanfaatkan bahan-bahan lokal yang mudah mereka temukan, salah satunya pisang. Buah yang sebelumnya mereka makan langsung atau kukus itu mulai mereka olah agar tahan lama dan bisa mereka jual. Dari ide kreatif itu, lahirlah Ledre.

Menurut cerita yang diwariskan warga secara turun-temurun, masyarakat awalnya membuat Ledre untuk konsumsi pribadi dan bekal perjalanan. Karena rasanya unik dan cara pembuatannya sederhana, masyarakat kemudian mulai memproduksi Ledre dalam jumlah lebih besar dan menjualnya di pasar tradisional. 

Konon, mereka memberi nama “Ledre” karena terdengar suara “letrek” atau “ledrek” saat mereka menempelkan adonan tipis ke wajan panas—suara khas yang menandakan camilan itu sudah matang dan renyah.

Bahan Sederhana, Cita Rasa Klasik

Sumber: Ika Rahma/canva

Para pembuat Ledre menggunakan pisang raja matang, lalu mereka haluskan dan campurkan dengan tepung beras, santan, gula pasir, telur, dan minyak kacang. Mereka menuangkan adonan ini tipis-tipis di atas wajan panas seperti saat membuat crepes.

Para pembuat memanggangnya hingga kering dan berubah warna menjadi coklat keemasan. Proses ini menuntut ketelitian tinggi, mereka harus meratakan adonan secara tipis dan memanggang dengan waktu yang tepat. Jika mereka memegangnya terlalu cepat, Ledre menjadi lembek dan mudah hancur. Jika terlalu lama, rasanya menjadi gosong dan pahit.

Ledre memiliki keunikan pada aroma pisangnya yang khas namun tidak menyengat, serta kerenyahannya saat digigit. Para produsen tradisional biasanya menggulung Ledre menjadi silinder sepanjang sekitar 15 cm. 

Seiring waktu, para pelaku usaha mengembangkan banyak varian rasa. Selain rasa original, kini mereka menawarkan varian waluh (labu), cokelat, kacang hijau, durian, keju, susu, stroberi, hingga nangka meskipun rasa pisangnya tetap mendominasi.

Dari Pasar Tradisional ke Pasar Global

Dulu, pedagang hanya menjual Ledre di pasar tradisional atau warung pinggir jalan. Kini, berkat kerja keras para pelaku UMKM Bojonegoro, mereka berhasil memperluas jangkauan Ledre melalui toko oleh-oleh, minimarket, dan platform digital. Para pelaku usaha juga telah memperbarui kemasan agar lebih menarik dan tahan lama, sehingga Ledre bisa menembus pasar nasional bahkan internasional.

Salah satu produsen Ledre, Hartijah, warga Desa Bonorejo, Kecamatan Gayam, mulai memproduksi camilan ini sejak tahun 2011. Selama lima tahun pertama, ia hanya menjual Ledre kepada tengkulak dengan harga yang rendah. 

Setelah itu, ia memutuskan memasarkan langsung ke toko-toko sekitar dan pusat oleh-oleh, hingga akhirnya ia memanfaatkan media daring untuk menjangkau konsumen yang lebih luas.

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga ikut melestarikan Ledre melalui berbagai inisiatif, seperti menyelenggarakan festival kuliner, memberi pelatihan kepada pelaku UMKM, serta mendorong kolaborasi antar produsen. Pemerintah berharap agar masyarakat terus mengenal dan mencintai Ledre.

Ledre bukan hanya camilan ringan yang cocok dinikmati kapan saja. Ledre juga mencerminkan ketangguhan masyarakat Bojonegoro dalam menghadapi masa sulit, serta menjadi saksi bisu sejarah penjajahan. 

Dari wajan sederhana pada tahun 1943, masyarakat telah menjadikan Ledre sebagai oleh-oleh kebanggaan yang mewakili kekayaan rasa dan budaya Indonesia.

FAQ

1. Apa itu Ledre?

Ledre adalah camilan tradisional khas Bojonegoro yang berbahan dasar pisang raja matang. Rasanya gurih, manis, dan renyah, dan bentuknya menyerupai gulungan silinder sepanjang sekitar 15 cm.

2. Kapan Ledre pertama kali dikenal?

Masyarakat mulai mengenal Ledre sekitar tahun 1943, saat Indonesia mengalami masa transisi dari penjajahan Belanda ke Jepang.

3. Kenapa dinamakan “Ledre”?

Nama “Ledre” berasal dari suara khas “letrek” atau “ledrek” yang terdengar saat adonan tipis disentuhkan ke wajan panas, sebagai penanda bahwa camilan sudah matang dan renyah.

4. Apa saja varian rasa Ledre saat ini?

Selain rasa original, Ledre kini hadir dalam berbagai varian seperti waluh (labu), cokelat, kacang hijau, durian, keju, susu, stroberi, hingga nangka.

5. Di mana saya bisa membeli Ledre?

Awalnya Ledre hanya tersedia di pasar tradisional, namun kini Anda bisa membelinya di toko oleh-oleh, minimarket lokal, dan platform digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *