FOR YOUR PLATE, Haloo konco luwee!!! Porong, apa yang konco luwe pikirkan saat mendengar daerah Porong? Pasti lumpur Lapindo, kan? Nah, selain itu, ada jajanan ote-ote khas Porong juga telah menjadi identitas kuliner lokal di sana.

Asal Usul

Penjual awalnya menjual ote-ote di pasar tradisional dan menyajikannya sebagai camilan rumahan. Tapi lama-lama, karena rasa khas dan ukuran yang bikin orang penasaran, masyarakat mulai mengangkat makanan ini hingga naik daun. Bahkan, beberapa merek ote-ote Porong kini sudah membuka cabang di luar kota dan menerima pesanan lewat aplikasi online.

Meski warga awalnya hanya menyajikan camilan ini di rumah, mereka mulai menjadikan ote-ote sebagai usaha kuliner sejak puluhan tahun lalu. Penjual kaki lima dan pemilik warung pinggir jalan pun berlomba-lomba membuat ote-ote dengan ciri khas masing-masing. Bahkan, beberapa merek dagang ote-ote Porong sekarang sudah dikenal sampai ke kota-kota lain di Jawa Timur.

Logo Ote-ote Porong - (Sumber : Ghinaa - dok pribadi)

Banyak orang tidak tahu bahwa warga Porong sudah menyajikan ote-ote sejak puluhan tahun lalu. Meski tak ada data pasti siapa yang pertama kali menciptakannya, warga lokal percaya bahwa mereka sudah menjadikan camilan ini bagian dari keseharian sejak generasi kakek-nenek.

Bukan Ote-Ote Biasa

Bagi sebagian orang, nama ote-ote mungkin terdengar sama saja dengan bakwan atau bala-bala. Tapi kalau kamu sudah mencicipi versi Porong, kamu pasti langsung merasakan bedanya. Warga Porong tidak sekadar menjadikan ote-ote sebagai makanan ringan, tapi mereka menghadirkannya sebagai cerita panjang tentang kreativitas, daya tahan budaya, dan cara mereka membangun ekonomi dari dapur ke dapur. 

Hal pertama yang bikin orang terkesima tentu saja ukurannya. Kalau biasanya orang membuat bakwan hanya segede kepalan tangan kecil, mereka menghidangkan ote-ote Porong seukuran piring kecil. Mereka membentuknya bulat, tebal, dan padat dengan isian. Mereka mencampurkan kol, wortel, tauge, dan daun bawang ke dalam adonan tepung. Kadang mereka juga menambahkan udang kecil, daging ayam, atau potongan telur rebus biar makin mantap.

Yang bikin khas lagi, warga Porong biasanya menggoreng ote-ote ini di wajan besar dengan api sedang supaya matang merata, tapi tetap garing di luar dan lembut di dalam. Tak heran kalau banyak orang rela mengantri demi menikmati satu ote-ote panas yang baru mereka angkat dari penggorengan bahkan mereka banyak membungkus makanan satu ini untuk dibawa pulang. Tempat yang disediakan pun besar, jadi sekeluarga besar bisa makan bersama di tempat juga. 

Tempat besar dan luas cocok untuk makan bersama - (Sumber : Ghinaa - dok pribadi)

Kuliner Lokal yang Bertahan di Tengah Tren Global

Di tengah serbuan makanan cepat saji dari luar negeri, warga tetap mempertahankan eksistensi ote-ote Porong. Bahkan lebih dari itu, mereka menjadikan ote-ote simbol kekuatan makanan rumahan yang penuh rasa dan cerita. Selain menyajikannya sebagai camilan, warga juga menjadikan ote-ote sebagai penggerak ekonomi lokal. Keluarga-keluarga di Porong menggantungkan penghasilan dari usaha gorengan ini. Mereka mempekerjakan pembuat adonan, penggoreng, pengepak, dan reseller yang semuanya mendapat rezeki dari satu jenis makanan ini.

Pengunjung yang datang, baik untuk makan di tempat maupun dibawa pulang, mayoritas berasal dari etnis Tionghoa. Bahkan mereka juga menyediakan dua variasi menu. Pertama, mereka menyediakan menu halal dengan campuran daging ayam saja. Kedua, mereka menawarkan varian non-halal dengan berbagai olahan daging B2.

Toko ote-ote Porong menunjukkan toleransi yang cukup tinggi karena tetap menyediakan pilihan menu halal. Jadi, pelanggan bisa memilih sesuai dengan keinginan masing-masing. Soal harga, memang agak mahal untuk ukuran jajanan, tapi dengan ukuran dan isian yang padat, harga itu tetap masuk akal. Selain ote-ote, mereka juga menyediakan menu lain seperti bakpao, siomay, bakcang, dan bakwan goreng.

“Saya awalnya kaget, soalnya yang datang mayoritas orang china, tapi ternyata memang pilihan menunya ada halal dan non halal, dan soal rasa memang beda dari ote-ote pada umumnya, enak dan cukup kenyang meski hanya makan satu biji saja” ucap Lita selaku pembeli ote-ote Porong. 

2 Pilihan menu yang berbeda bahan isian - (Sumber : Ghinaa - dok pribadi)

Ajakan untuk Merawat Warisan Kuliner

Generasi penerus seperti kita, konco luwe, perlu ikut menjaga makanan-makanan yang menjadi kuliner khas daerah. Kita harus aktif merawat dan mengembangkan kuliner lokal seperti ini, bukan hanya menyerahkannya kepada pedagang atau ibu-ibu pasar.

Jadi yuk konco luwe, kalau kamu lewat Sidoarjo, khususnya Porong, jangan cuma lewat aja. Berhenti sebentar, cari warung ote-ote, dan nikmati camilan legendaris ini langsung dari tempat asalnya. Rasakan gurihnya, dengarkan ceritanya, dan kamu bakal sadar: dari sepotong gorengan pun, kita bisa belajar banyak hal.



Hiasan tulisan ote-ote Porong di tempat parkiran - (Sumber : Ghinaa - dok pribadi)

FAQ

  1. Apa itu ote-ote Porong?                                                                                                              Ote-ote Porong adalah gorengan khas dari daerah Porong, Sidoarjo, yang sekilas mirip bakwan atau bala-bala, namun memiliki ukuran lebih besar, isian lebih padat, dan rasa yang khas.
  1. Mengapa ote-ote Porong penting dalam identitas kuliner lokal?                            Karena ote-ote bukan hanya makanan, tapi juga simbol budaya, kreativitas masyarakat, dan ketahanan ekonomi lokal. Ote-ote mencerminkan bagaimana masyarakat menjaga dan mewariskan tradisi kuliner turun-temurun.
  1. Bagaimana perkembangan ote-ote Porong dari masa ke masa?                          Awalnya hanya dijual di pasar tradisional sebagai camilan rumahan. Namun kini, ote-ote Porong sudah berkembang menjadi usaha kuliner besar yang membuka cabang di luar kota dan dapat dipesan secara online.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *