FOR YOUR PLATE
Halo Konco Luwe! Di setiap gigitan kue Bagiak, kita bisa merasakan jejak sejarah dan cita rasa tradisi yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi. Camilan sederhana berbahan dasar tepung sagu ini tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga mencerminkan ketahanan budaya Suku Osing yang tetap melestarikannya hingga kini.
Sejarah Kue Bagiak
Kue Bagiak berasal dari Banyuwangi, sebuah kabupaten di ujung timur Pulau Jawa. Makanan ringan ini memiliki akar budaya yang kuat, terutama di kalangan masyarakat Suku Osing, suku asli Banyuwangi. Berdasarkan berbagai sumber sejarah lokal, para pejuang dan nelayan Banyuwangi menciptakan Bagiak pertama kali pada masa penjajahan Belanda. Mereka memerlukan makanan ringan yang tahan lama, bergizi, dan mudah dibuat sebagai bekal saat melaut atau dalam perjalanan.
Masyarakat saat itu menggunakan bahan-bahan sederhana dari lingkungan sekitar, seperti tepung sagu, kelapa, dan gula, untuk membuat kue ini. Mereka memilih tepung sagu karena bahan ini mampu bertahan lama tanpa pengawet dan memberikan energi tinggi bagi tubuh. Awalnya, keluarga-keluarga di Banyuwangi hanya membuat Bagiak di rumah dan menyajikannya saat acara keluarga atau tradisi adat. Masyarakat Banyuwangi menjadikan kue Bagiak bukan sekadar makanan, tetapi lambang ketahanan dan kreativitas lokal dalam menjaga tradisi kuliner yang mereka wariskan secara turun-temurun.
Pembuatan Kue Bagiak

Untuk membuat kue Bagiak, langkah pertama yaitu menyiapkan bahan utama: tepung sagu, gula halus, margarin, telur, dan vanili bubuk. Pertama, kocok margarin dan gula halus hingga teksturnya lembut dan mengembang. Kemudian, masukkan telur satu per satu sambil terus mengocok adonan hingga merata. Tambahkan vanili bubuk untuk menciptakan aroma khas, lalu masukkan tepung sagu sedikit demi sedikit sambil terus mengaduk hingga adonan bisa dibentuk dan tidak lengket di tangan.
Setelah itu, ambil sedikit adonan dan bentuk menjadi silinder kecil atau sesuai selera. Letakkan adonan di atas loyang yang telah kalian olesi margarin atau alasi dengan kertas roti. Panggang adonan dalam oven bersuhu sekitar 150 derajat Celsius selama 20–30 menit hingga matang dan sedikit kecoklatan. Angkat dan dinginkan kue sebelum kalian menyajikannya atau menyimpannya dalam toples kedap udara agar tetap renyah. Dengan rasa gurih dan tekstur renyah, kue ini sangat cocok menemani teh atau kopi di sore hari.
Peluang Usaha dan Daya Tarik Kue Bagiak di Masa Kini
Kini, banyak orang tidak hanya menyajikan kue Bagiak dalam acara keluarga atau tradisi adat, tetapi mereka juga menjadikannya salah satu oleh-oleh khas unggulan dari Banyuwangi. Para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Banyuwangi terus mengembangkan produksi kue Bagiak secara profesional, lengkap dengan kemasan menarik dan berbagai variasi rasa seperti original, coklat, jahe, hingga keju. Inovasi ini membuat wisatawan lokal maupun mancanegara semakin menggemari kue Bagiak.
Rasa yang unik, gurih, renyah, dan sedikit manis menjadikan kue ini favorit banyak kalangan. Selain harganya yang terjangkau, masyarakat juga dapat dengan mudah menemukan Bagiak di pusat oleh-oleh dan toko makanan tradisional di Banyuwangi. Pemerintah daerah secara rutin menggelar festival kuliner untuk mendorong popularitas kue ini, sekaligus mengangkat kekayaan budaya lokal dan memperkuat ekonomi kreatif masyarakat. Dengan memadukan nilai sejarah, cita rasa khas, dan potensi usaha yang besar, kue Bagiak kini tidak hanya menjadi warisan kuliner, tetapi juga lambang identitas Banyuwangi dalam kancah kuliner nasional.
FAQ
1. Apa itu kue Bagiak?
Kue Bagiak adalah camilan tradisional khas Banyuwangi yang terbuat dari tepung sagu, dikenal dengan teksturnya yang renyah dan rasa yang gurih-manis. Kue ini memiliki nilai budaya tinggi, terutama di kalangan masyarakat Suku Osing.
2. Dari mana asal-usul kue Bagiak?
Kue Bagiak berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Awalnya dibuat oleh para pejuang dan nelayan pada masa penjajahan Belanda sebagai bekal perjalanan karena tahan lama dan bergizi.
3. Mengapa kue Bagiak dianggap sebagai warisan budaya?
Karena kue ini berasal dari tradisi masyarakat Suku Osing dan menjadi simbol ketahanan serta kreativitas lokal. Resepnya diwariskan turun-temurun dan masih dilestarikan hingga kini.