For your plate, Halo konco luwe! Kripik bekicot terdengar tidak biasa bagi sebagian orang, tetapi di tangan seorang pedagang asal Jawa Timur, camilan ini berubah menjadi produk unggulan yang digemari banyak wisatawan. Berawal dari warung kecil di pinggir jalan, usahanya kini menjelma menjadi toko oleh-oleh yang ramai pengunjung setiap harinya.
Proses perjuangan sang pedagang tidak selalu mulus, tetapi semangat dan inovasi mendorong keberhasilan yang luar biasa. Artikel ini mengangkat kisah inspiratif tentang bagaimana kripik bekicot berhasil menembus pasar oleh-oleh dan menjadi ikon kuliner khas daerah.
Awal Mula Usaha Kripik Bekicot

Ibu Sumarni, seorang warga asal Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi, memulai usaha kripik bekicot sejak tahun 2008. Saat itu, ia hanya menjajakan makanan ringan buatan sendiri di teras rumah. Bekicot yang sering dianggap sebagai hama sawah justru menarik perhatiannya sebagai peluang usaha yang potensial.
Setiap pagi, ia mengumpulkan bekicot dari kebun sekitar, lalu membersihkannya secara manual. Ia merebus bekicot menggunakan daun jambu dan serai agar lendirnya hilang. Setelah dagingnya bersih, ia memotong kecil-kecil dan menggorengnya hingga kering. Hasilnya berupa kripik gurih dengan aroma khas yang menggugah selera.
Kripik tersebut ia kemas menggunakan plastik sederhana, lalu dijual di warung dekat jalan raya. Meski awalnya hanya sedikit orang yang berani mencicipi, rasa penasaran pengunjung mulai meningkat.
Resep Unik dengan Cita Rasa Lokal
Rahasia kelezatan kripik bekicot terletak pada bumbu rempah yang digunakan. Ibu Sumarni tidak menggunakan pengawet kimia, melainkan memanfaatkan rempah alami seperti bawang putih, ketumbar, kencur, dan garam. Ia menambahkan bubuk cabai untuk varian pedas yang kini menjadi favorit pembeli.
Tekstur kripik terasa renyah namun tetap juicy di dalam. Proses penggorengan menggunakan api kecil menjadikan daging bekicot matang merata dan tidak pahit. Banyak pembeli menyamakan rasa kripik bekicot dengan keripik paru sapi, tetapi dengan cita rasa lebih gurih dan eksotis.
Perjuangan dan Strategi Pemasaran
Setelah berhasil menarik pelanggan lokal, Ibu Sumarni mulai membawa produknya ke pasar tradisional dan menitipkan ke beberapa toko oleh-oleh. Ia mencetak label dengan nama “Kripik Bekicot Murni Kalibaru” untuk membangun identitas produk.
Anak-anaknya turut membantu dalam proses produksi, pengemasan, hingga distribusi. Ia memanfaatkan media sosial untuk memperluas pemasaran. Melalui Facebook dan WhatsApp, ia menerima pesanan dari luar kota, bahkan hingga Bali dan Jakarta.
Puncak keberhasilannya terjadi saat salah satu acara kuliner televisi nasional meliput usahanya. Sejak saat itu, tokonya tidak pernah sepi pembeli. Setiap hari, ia mampu memproduksi lebih dari 20 kilogram kripik dan mengirimkannya ke berbagai kota sebagai oleh-oleh khas Banyuwangi.
Transformasi Warung ke Toko Oleh-Oleh
Warung sederhana milik Ibu Sumarni kini berubah menjadi toko oleh-oleh dengan papan nama besar dan rak-rak berisi berbagai varian kripik bekicot. Ia menambahkan produk lain seperti abon bekicot, sambal bekicot, dan keripik rempah.
Toko tersebut menjadi salah satu destinasi wajib bagi wisatawan yang melewati jalur Banyuwangi–Jember. Beberapa travel dan bus pariwisata rutin berhenti di tokonya untuk membeli oleh-oleh. Ia juga bekerja sama dengan UMKM sekitar agar produk olahan lokal semakin berkembang.
Kripik Bekicot, Kuliner Unik yang Jadi Ikon
Kripik bekicot bukan sekadar camilan gurih, tetapi juga hasil dari kerja keras, kreativitas, dan kepekaan membaca peluang. Ibu Sumarni membuktikan bahwa bahan sederhana seperti bekicot bisa menjadi produk bernilai tinggi jika diolah dengan tepat.
Kini, kripik bekicot tidak hanya mengangkat nama daerahnya, tetapi juga menginspirasi banyak pelaku UMKM lain untuk terus berinovasi. Cita rasa lokal, semangat wirausaha, dan kekuatan cerita menjadikan kripik bekicot sebagai salah satu oleh-oleh khas Indonesia yang patut dibanggakan.