kerupuk abang ijo khas bojonegoro

FOR YOUR PLATE, Halo Konco Luwe! Warga Bojonegoro dan para penikmat camilan tradisional mengenal nama Kerupuk Klenteng bukan hanya sebagai merek, melainkan sebagai warisan rasa dan sejarah yang telah tumbuh kuat selama hampir satu abad.

Tan Tjian Liem dan Oei Hay Nio memulai usaha kerupuk legendaris ini pada tahun 1929. Mereka tidak hanya menciptakan pelengkap hidangan, tetapi juga membangun simbol ketekunan dan inovasi lintas generasi.

Pasangan suami istri itu memulai perjalanan penuh liku hingga akhirnya Anton Indarno, CEO generasi keempat, melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan. Di bawah kepemimpinannya, Kerupuk Klenteng terus bertahan sebagai salah satu ikon kuliner Bojonegoro.

Awal Mula, Dari Toko Kelontong ke Dunia Kerupuk

Sebelum masyarakat mengenal nama Kerupuk Klenteng secara luas, Tan Tjian Liem dan Oei Hay Nio menjalankan sebuah toko kelontong kecil di kawasan timur Pasar Kota Bojonegoro. Namun, karena salah urus, mereka harus menutup usaha itu. Tak ingin menyerah, keduanya memilih mencoba jalan baru.

Tan Tjian Liem mengajak dua temannya dari Tuban untuk belajar membuat kerupuk ke Sidoarjo, sebuah daerah yang dikenal sebagai sentra kerupuk. Sayangnya, usaha pertama mereka tidak berhasil. Teman-teman Tan Tjian Liem memilih kembali ke Tuban, tetapi ia memutuskan tetap bertahan.

Ia tak ingin kembali ke Bojonegoro dengan tangan hampa. Maka, ia mencoba membuka usaha batik di Sidoarjo. Namun usaha ini pun gagal. Akhirnya, ia memutuskan pulang ke kampung halaman dan mulai membuat kerupuk sendiri bersama istrinya.

Lahirnya Kerupuk Klenteng

kerupuk abang ijo khas bojonegoro

Setelah kembali ke Bojonegoro, Tan Tjian Liem dan Oei Hay Nio mulai memproduksi kerupuk secara mandiri. Mereka memilih lokasi produksi yang tak jauh dari sebuah klenteng. Karena itulah, masyarakat setempat mulai menyebut produk ini sebagai “Kerupuk Klenteng.”

Awalnya, mereka membuat kerupuk tanpa warna dan hanya mengandalkan rasa serta kerenyahan. Namun, karena tampilannya kurang menarik, mereka menambahkan warna merah, hijau, dan kuning pada kerupuk. Warna-warna ini membuat masyarakat menjuluki produknya sebagai Kerupuk Abang Ijo.

Selain kerupuk, mereka juga memproduksi tahu dan kecap. Namun, karena proses pembuatan tahu menyita waktu dan tenaga, mereka akhirnya menghentikan produksi tahu agar bisa lebih fokus mengembangkan kerupuk.

Kerupuk Klenteng bukan usaha instan. Tan Tjian Liem dan Oei Hay Nio menyerahkan tongkat estafet bisnis kepada anaknya, Tan Lan Nio, yang menjalankannya bersama suaminya, Njoo Hong Liat. Kemudian, Njoo Sing Thong dan Siem Bok Sian dari generasi ketiga melanjutkan usaha ini.

Setiap generasi membawa inovasi. Mereka mengubah kemasan, memilih bahan baku dengan cermat, dan mengembangkan strategi pemasaran. Kini, Anton Indarno, pewaris generasi keempat, terus mengembangkan bisnis ini ke level yang lebih tinggi. 

Ia memperkuat branding, memperluas jangkauan distribusi ke luar kota dan provinsi, serta memanfaatkan pemasaran digital. Anton juga memastikan kerupuk ini bisa dinikmati masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan luar negeri.

Menjaga Resep Asli Tanpa Kompromi

Anton dan keluarganya tetap menggunakan resep asli yang diturunkan langsung dari Tan Tjian Liem dan Oei Hay Nio. Mereka hanya memakai tepung tapioka pilihan, garam, air, dan pewarna makanan yang halal serta sudah mendapatkan izin BPOM.

Mereka tidak menambahkan bahan kimia berbahaya. Warna hijau dan kuning hanya berfungsi sebagai pemanis tampilan, bukan pewarna sintetis yang merusak. Konsumen pun merasa lebih aman dan nyaman saat menyantap kerupuk ini.

Cita rasanya pun tidak berubah. Masyarakat Bojonegoro menyebutnya “gulami”, atau gurih alami. Tanpa MSG, tanpa pengawet, dan tetap renyah dalam waktu lama. Kerupuk ini cocok dinikmati kapan saja baik sebagai camilan, pendamping makan, maupun buah tangan.

Kalau kamu ingin menyaksikan langsung proses pembuatannya atau membeli langsung dari tempat asalnya, kamu bisa datang ke Jalan Jaksa Agung Suprapto, Bojonegoro. Di lokasi inilah Tan Tjian Liem pertama kali memproduksi kerupuk pada tahun 1929.

Meski kini mereka menggunakan alat modern, para pekerja tetap mempertahankan aroma dan cara tradisional dalam proses pengeringan kerupuk. Beberapa proses pengolahan pun masih mereka kerjakan secara manual untuk menjaga kualitas renyah khas Kerupuk Klenteng.

Daya Tarik yang Tak Pernah Pudar

kerupuk abang ijo khas bojonegoro

Selama hampir 100 tahun, Kerupuk Klenteng berhasil mempertahankan eksistensinya meski camilan modern terus membanjiri pasar. Masyarakat Bojonegoro tetap memilih kerupuk ini sebagai camilan utama, bahkan menjadikannya buah tangan wajib bagi tamu dari luar kota.

Kini, konsumen bisa membeli Kerupuk Klenteng di toko oleh-oleh, supermarket, bahkan secara online melalui berbagai platform e-commerce. Kerupuk Klenteng bukan sekadar makanan ringan. Setiap helai kerupuk menyimpan cerita perjuangan, semangat pantang menyerah, dan nilai kekeluargaan yang telah dijaga selama hampir satu abad.

Bagi warga Bojonegoro, menikmati Kerupuk Klenteng berarti menyambung rasa dengan masa lalu dengan kisah Tan Tjian Liem yang pantang menyerah, dengan inovasi dari generasi ke generasi, dan dengan renyahnya kerupuk yang menghidupkan kembali kenangan setiap gigitan.

Kalau kamu berkunjung ke Bojonegoro, jangan hanya mencari rawon atau ledre. Sempatkan mampir dan bawa pulang Kerupuk Klenteng, camilan renyah yang sudah menjadi bagian dari sejarah kota ini selama 96 tahun.

Kerupuk ini bukan sekadar soal rasa. Ia mencerminkan identitas, sejarah, dan kebanggaan lokal. Dan yang terpenting, keluarga Tan Tjian Liem telah membuktikan bahwa warisan kuliner bisa terus hidup, berkembang, dan disukai lintas generasi.

FAQ

1. Siapa yang memulai usaha Kerupuk Klenteng?
Tan Tjian Liem dan Oei Hay Nio memulai usaha Kerupuk Klenteng pada tahun 1929. Mereka merintis bisnis ini dari nol setelah mengalami beberapa kegagalan usaha sebelumnya.

2. Mengapa masyarakat menyebutnya Kerupuk Klenteng?
Masyarakat mulai menyebutnya Kerupuk Klenteng karena Tan Tjian Liem dan Oei Hay Nio memproduksi kerupuk di dekat sebuah klenteng di Bojonegoro. Nama itu kemudian melekat hingga kini.

3. Bagaimana Kerupuk Klenteng bisa bertahan selama hampir 100 tahun?
Keluarga Tan Tjian Liem mewariskan resep asli secara turun-temurun dan menjaga kualitas produk tanpa kompromi. Setiap generasi juga membawa inovasi, terutama dalam pengemasan, distribusi, dan strategi pemasaran.

4. Siapa yang saat ini memimpin usaha Kerupuk Klenteng?
Anton Indarno, cucu buyut pendiri, kini memimpin usaha ini sebagai CEO generasi keempat. Ia mengembangkan branding, memperluas distribusi, dan mengoptimalkan pemasaran digital.

5. Apa rahasia kelezatan Kerupuk Klenteng?
Keluarga ini tetap menggunakan resep asli yang hanya memakai tepung tapioka pilihan, garam, air, dan pewarna makanan halal. Mereka tidak menambahkan MSG atau bahan pengawet, sehingga menghasilkan rasa “gulami” atau gurih alami.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *