For your plate, Halo konco luwe! Di beberapa pelosok Nusantara, eksotisme kuliner tidak berhenti pada sate ayam atau rendang sapi. Aroma bumbu khas dan bara api yang menyala memperkenalkan sajian yang jauh dari menu mainstream: daging biawak. Hewan yang masih satu keluarga dengan komodo ini sering muncul di warung-warung tradisional yang menjajakan makanan ekstrem. Banyak orang menikmati rasa gurih dan tekstur kenyal dagingnya, bahkan mereka percaya sajian tersebut menyimpan banyak manfaat. Namun, pertanyaan tentang kehalalannya tetap mengemuka.
Dari Hutan ke Meja Makan
Warga di berbagai daerah seperti Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi mengandalkan jenis daging ini sebagai lauk harian. Mereka berburu hewan tersebut di tepian hutan atau area persawahan, lalu mengolahnya menjadi sate, rica-rica, atau rendang. Para juru masak membaluri daging dengan rempah kuat untuk menutupi aroma khas reptil yang menyengat. Beberapa penikmat bahkan lebih memilihnya dibandingkan kambing karena rasanya lebih ringan dan tidak prengus.
Selain untuk konsumsi, masyarakat juga memanfaatkannya sebagai ramuan pengobatan tradisional. Mereka percaya daging dan minyak dari hewan ini mampu mengatasi penyakit kulit, meredakan asma, dan meningkatkan vitalitas pria. Karena itu, sajian ini tidak hanya menjadi simbol tradisi kuliner, tetapi juga bagian dari ritual dan kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun.
Perdebatan Halal atau Tidak
Para ulama dan pengkaji halal-haram terus memperdebatkan status konsumsi daging tersebut. Dalam fikih Islam, ulama menentukan status halal hewan berdasarkan jenisnya, cara penyembelihan, serta sifat alaminya.
Mazhab Syafi’i yang banyak dianut di Indonesia menggolongkan hewan melata ini sebagai makhluk yang menjijikkan dan tidak termasuk hewan halal. Mereka mengaitkannya dengan dhabb (kadal gurun) yang Nabi larang untuk dikonsumsi karena hidup di dua alam: daratan dan air.
Sebaliknya, ulama dari mazhab Maliki dan Hanbali membolehkan konsumsinya jika tidak beracun dan disembelih sesuai syariat. Masyarakat yang terbiasa menyantapnya biasanya mengikuti pandangan ini dalam praktik sehari-hari.
Sampai saat ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum mengeluarkan fatwa nasional khusus mengenai kehalalan hewan tersebut. Meski begitu, para konsumen tetap perlu mempertimbangkan aspek kesehatan, etika, dan keyakinan sebelum menyantapnya.
Makanan Ekstrem, Tradisi, dan Modernitas
Bagi sebagian orang, menyantap hewan ini berarti menjelajahi rasa ekstrem sekaligus menjaga warisan lokal. Namun, sebagian lainnya mempertanyakan keberadaannya dalam dunia kuliner. Ketika industri makanan semakin menonjolkan orisinalitas dan pengalaman tak biasa, beberapa orang memilihnya sebagai pilihan alternatif.
Beberapa food vlogger secara aktif memburu warung kecil yang menjual menu tersebut secara diam-diam. Para penjual sering memberi nama unik seperti “sate langka” atau “sate unik” agar tidak menimbulkan perhatian besar. Justru karena keunikannya, sajian ini viral dan menarik minat anak muda yang suka mencoba makanan berbeda.
Menimbang dengan Bijak
Menyantap hidangan ekstrem seperti ini bukan sekadar soal rasa. Pilihan tersebut bersinggungan dengan keyakinan, nilai budaya, serta hukum agama. Tidak semua orang sanggup atau ingin mencoba, dan hal itu sah-sah saja. Namun, mengenal dan memahami kuliner ekstrem tetap penting sebagai bentuk penghargaan terhadap kekayaan tradisi dan ragam nilai di masyarakat.
FAQ
- Apa benar daging hewan ini bisa dikonsumsi?
Ya. Masyarakat di Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Jawa mengolahnya menjadi sate, rica-rica, atau rendang. Mereka memasaknya sebagai bagian dari tradisi dan pengobatan alternatif.
- Bagaimana rasanya?
Teksturnya kenyal dengan rasa gurih yang khas. Banyak orang menyebut rasanya seperti perpaduan ayam dan kambing, tetapi lebih ringan dan tidak terlalu berbau.
- Apakah dagingnya halal menurut Islam?
Pendapat ulama berbeda. Mazhab Syafi’i tidak membolehkan karena hewan ini termasuk makhluk melata yang dianggap najis. Namun, mazhab Maliki dan Hanbali memperbolehkannya jika tidak beracun dan disembelih sesuai syariat. MUI belum mengeluarkan fatwa resmi.
- Apa manfaatnya menurut kepercayaan masyarakat?
Secara tradisional, masyarakat percaya daging dan minyak hewan tersebut bisa menyembuhkan penyakit kulit, asma, serta meningkatkan stamina pria. Banyak orang juga menggunakannya sebagai obat luar.
- Apakah konsumsi hewan ini aman untuk kesehatan?
Bila dagingnya berasal dari sumber bersih dan dimasak dengan benar, konsumsi tetap bisa dilakukan secara aman. Namun, risikonya tetap ada, apalagi jika hewan itu hidup di lingkungan tercemar atau tidak dimasak matang. Konsultasi medis tetap dianjurkan sebelum mencobanya.