gambar ampo tuban

FOR YOUR PLATE, Halo Konco Luwe! Di tengah gempuran kuliner modern, warga Kabupaten Tuban tetap mempertahankan satu makanan tradisional yang tak lekang oleh waktu. Mereka menyebutnya Ampo, camilan unik yang berasal dari tanah liat steril. Meski terdengar asing atau ekstrem bagi sebagian orang, warga pedesaan Tuban menjadikan Ampo sebagai warisan leluhur yang penuh makna, bukan sekadar camilan biasa.

Saat saya berkunjung ke daerah Semanding, tepatnya di Jl. Ngasinan, Banaran, Bektiharjo, Kec. Semanding, Kabupaten Tuban, saya bertemu Mbok Rasima, perempuan 72 tahun yang masih setia membuat Ampo secara tradisional. Di rumah kayunya yang sederhana, Mbok Rasima menata potongan Ampo di atas tampah anyaman bambu untuk ia jual ke pasar dan lewat online.

“Saya sudah bikin Ampo sejak kecil, waktu saya bisa lari,” katanya dengan senyum lirih. Saat duduk di kelas 2 sekolah dasar, Mbok Rasima tidak melanjutkan sekolah dan memilih membantu ibunya ke pasar. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Sejak itu, ia mulai belajar membuat Ampo dari neneknya, Nyai Samira, dan kini menjadi pembuat terakhir di generasinya. “Ini sudah generasi keempat, tapi saya belum tahu apakah anak-anak saya mau meneruskan atau tidak,” tambahnya.

mbok rasima pembuat ampo
Sumber : Arfi Syamsul/ Doc Pribadi

Tanah yang Tak Sembarang Tanah.

Mbok Rasima tidak sembarangan memilih tanah untuk membuat Ampo. “Bagian paling susah yaitu mencari tanahnya,” ujarnya. Ia harus memilih tanah kering dan steril, biasanya tanah dari sawah yang digunakan menanam singkong atau ubi. Saat musim hujan tiba, ia menghentikan produksi sampai menemukan tanah yang cocok.

Mbok Rasima sendiri yang turun ke sawah, menggali, dan membawa pulang tanah itu. Ia kemudian mengeringkannya sampai benar-benar pas, lalu membentuk tanah tersebut menjadi kubus sedang. Setelah itu, ia diamkan sebentar sebelum menggulungnya kecil-kecil menggunakan potongan kayu yang ia siapkan.

“Sebelumnya saya pernah mencoba pakai besi dan alat lain, tapi gulungannya tidak terbentuk sempurna, jadi saya memilih kayu,” kata salah satu keponakan Mbok Rasima yang selalu menemaninya.

Ia kemudian melanjutkan ke proses pengeringan. Mbok Rasima menjemur gulungan Ampo selama setengah hari atau sehari, lalu melanjutkan pengeringan lewat pengasapan. Ia tidak melakukan pengasapan ini sembarangan karena metode ini memastikan tanah yang masih agak basah menjadi kering sempurna.

pengasapan ampo
Sumber : Arfi Syamsul/ Doc Pribadi

Ampo di Mata Para Konsumen.

Banyak orang merasa aneh saat tahu Ampo berasal dari tanah. Namun, sebagian besar dari mereka belum mengetahui asal usul dan tradisi di baliknya. Masyarakat Tuban biasa menikmati Ampo sebagai cemilan saat minum kopi di pagi atau sore hari. Mereka percaya Ampo memiliki khasiat, seperti meredakan panas dalam atau radang tenggorokan.

Walaupun tidak ada bukti medis bahwa tanah bisa menyembuhkan penyakit, masyarakat zaman dulu tetap mempercayainya. Bahkan, masyarakat adat Bali memesan Ampo dalam jumlah besar untuk dijadikan sesajen atau persembahan. “Mereka biasanya pesan beberapa kilo untuk upacara,” ujar keponakan Mbok Rasima.

Mereka menjual Ampo seharga Rp10.000 per kilogram. Harga itu tetap mereka pertahankan meskipun harga bahan pokok lain naik. “Kami tidak pernah menaikkan harga. Buat apa menaikkan harga makanan dari tanah,” kata keponakan Mbok Rasima saat ditanya soal harga.

Mereka menjual Ampo di pasar seharga Rp10.000. Kalau lewat online, harganya bisa berbeda karena harus menambahkan ongkos kirim. Banyak orang, termasuk media nasional dan internasional, datang ke rumah Mbok Rasima untuk melihat langsung proses pembuatan Ampo. “Pernah juga ada wartawan dari Jerman datang hanya untuk memastikan apakah tanah itu benar-benar bisa dimakan,” tambahnya.

pembuatan ampo
Sumber : Arfi Syamsul/ Doc Pribadi

Budaya Yang Harus Dijaga dan Dilestarikan.

Makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang identitas dan sejarah. Ampo membuktikan bahwa bahkan tanah bisa menjadi sajian bermakna. Tantangannya adalah bagaimana menjaga tradisi tanpa mengabaikan sisi kesehatan.

Beberapa kalangan menyarankan agar Ampo dikembangkan sebagai produk wisata edukatif, misalnya melalui demonstrasi pembuatan di pasar budaya, agar tetap lestari tanpa menghilangkan tradisinya.

Mbok Rasima, generasi keempat pembuat Ampo, tetap mempertahankan tradisi ini meski banyak tantangan. Pemerintah Kabupaten Tuban pun mulai memperhatikan pentingnya kelestarian Ampo. “Bupati Tuban pernah datang dan bilang bahwa pembuatan Ampo ini harus tetap dijaga sebagai budaya daerah,” kata keponakan tertua Mbok Rasima sambil menunjukkan piagam budaya yang mereka terima.

“Dulu, ada dua pembuat Ampo. Tapi tetangga depan rumah saya sudah meninggal, dan anak-anaknya memilih bekerja di luar negeri daripada meneruskan,” katanya.

Kini, hanya sedikit penjual yang masih menjajakan Ampo di pasar Tuban. Mbok Rasima tetap membuatnya, meski jumlah pesanan tidak sebanyak dulu. “Kalau anak-anakku nggak nerusin, ya nggak apa-apa. Saya cuma ingin orang masih tahu rasanya Ampo,” ucapnya sambil mengelus tampah berisi tanah yang telah ia olah dengan penuh cinta.

Sebagai generasi muda, kita tidak boleh hanya merasa bangga terhadap warisan budaya, tapi juga punya tanggung jawab untuk menjaga dan merawatnya. Sebab warisan leluhur tidak selalu soal rasa, tapi tentang kenangan yang lahir dari tanah dan tangan yang menjaga kisahnya.

FAQ.

  1. Apa itu Ampo Tuban?
    Ampo adalah makanan tradisional dari Kabupaten Tuban, Jawa Timur, yang terbuat dari tanah liat steril. Makanan ini dipercaya sebagai warisan leluhur dan memiliki nilai budaya tinggi.

 

  1. Di mana lokasi pembuat Ampo yang masih bertahan?
    Salah satu pembuat terakhir Ampo secara tradisional adalah Mbok Rasima, yang tinggal di Ngasinan, Banaran, Bektiharjo, Kec. Semanding, Kabupaten Tuban.
  1. Siapa Mbok Rasima dan bagaimana sejarahnya?
    Mbok Rasima adalah perempuan berusia 72 tahun yang sudah membuat Ampo sejak kecil. Ia mempelajarinya dari neneknya dan merupakan generasi keempat pembuat Ampo. Kini, ia menjadi satu-satunya yang masih melestarikan makanan ini.
  1. Berapa harga Ampo dan di mana bisa membelinya?
    Ampo dijual dengan harga 10.000 per kilogram di pasar tradisional. Untuk pembelian online, harganya bisa lebih tinggi karena ditambah ongkos kirim.
  1. Apakah ada dukungan dari pemerintah terhadap pelestarian Ampo?
    Pemerintah Kabupaten Tuban pernah mengunjungi Mbok Rasima dan menyatakan bahwa pembuatan Ampo tidak boleh hilang, bahkan memberikan piagam budaya sebagai bentuk penghargaan terhadap warisan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *